Cerpen Islami

Assalamualaikum wr. wb,
Ini adalah cerpen hasil karya saya sendiri dan silakan saya tunggu kommennya ya :)


Setetes Embun

Kriiiiiiiiiiiiing. Bunyi  jam backer yang sudah menunjukkan pukul 04.30 pagi, tepat saat adzan subuh berkumandang. Segera aku menyadarkan diri dari alam mimpi yang menurutku selalu aneh jika mencoba menafsirkannya ke dalam akal sehat. Setelah membereskan ‘ singgasana’ kesayanganku, sesegera mungkin aku mengambil air wudlu untuk sholat subuh. Aku menengok ke arah kamar ayah. Ah, masih tidur rupanya.
Pukul 06.30...
“ Ayah, aku berangkat dulu. Wasalamualaikum.” Salamku sambil mengulurkan tangan hendak ingin mencium tangannya. Namun hal itu tak dihiraukannya.
“Emmmm...” jawabnya sambil tetap sibuk mencoret-coret koran di halaman lowongan pekerjaan.
Aku segera saja meninggalkan rumah dengan perasaan yang tak menentu. Ayah sekarang berubah, sangatlah berbeda semenjak ia dikeluarkan dari pekerjaannya sebagai karyawan di salah satu kantor, karena telah difitnah dan ditipu oleh rekan kerjanya sendiri. Sudah hampir dua minggu ayah menganggur, dan uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pun semakin menipis. Aku memang tidak memiliki seorang ibu sejak lahir. Karena itulah aku tidak tahu bagaimana rasanya kasih sayang seorang ibu dan didikan seorang ibu terhadap anaknya. Ayahku mendidik diriku dengan dengan keras dan sangat disiplin. Dan dari hasil didikannya itulah aku selalu mendapat prestasi disekolah, mengerjakan segala urusan rumah tangga, sampai mencoba untuk mencari uang saku sendiri dengan berjualan topi hasil sulaman sendiri. Meski hasilnya tak seberapa, tapi cukup untuk sekali duakali makan.  Tetapi aku tumbuh sebagai seorang gadis yang dingin, dan cuek. Sebab itulah aku hanya memiliki beberapa teman.
“Woii... Lif! Bangun! Pagi-pagi udah ngelamun. Ntar kesambet baru tau rasa.” Cerocos Rasyid yang tiba-tiba nongol sambil megang buku tugas matematika.
“Apaan sih?! Ngagetin orang aja kerjaan kamu.”
“Ya biarin. Daripada kamu, kerjaannya ngelamun mulu. Lagi ada masalah ya?” jawabnya setengah menggoda
“Ada. Mau tahu nggak masalahnya apa?”
“Apa emangnya?”
“Bisa nggak, kamu itu nggak banyak nanya?”
“Yeeee... orang nanya serius juga.”
“ Udah lah. Mending kamu balik ke alam kamu sana! Udah bel masuk.”
“ Ogah ah.”
“Kenapa?” tanyaku heran
“Tuh, lihat aja! Alam ku lagi dijajah sama penghuni alam lain.” Jawab Rasyid sambil menunjuk kearah bangkunya yang terlihat si Reni lagi duduk di bangku Rasyid yang lagi PDKT sama Andi.
“Kayaknya bentar lagi bakalan ada couple baru nih.”
“ So, mulai hari ini dan seterusnya... aku sebangku sama kamu.” Rayu Rasyid yang terlihat norak
“Males!”
Pukul 16.00...
Kutapakkan kakiku menuju kamar. Aku lelah, karena hari ini banyak tugas yang harus diselesaikan. Terlebih lagi keadaan rumah yang seperti kapal pecah, karena aku tadi pagi belum sempat membersihkan ruang tamu dan kamar ayah. Saat aku hendak membersihkan kamarnya, aku mengetuk pintu, karena pintu kamar ayah tertutup. Kupikir ayah ada di dalam. Namun ternyata setelah kubuka, ayah tidak ada. Ah, mungkin ayah sedang sibuk mencari pekerjaan di luar sana. Mudah-mudahan doaku setiap sholat terkabulkan hari ini, agar ayah segera mendapat pekerjaan yang tepat dan bisa mencukupi kebutuhan kami nantinya.
Sebenarnya aku ingin membantu ayah mencari uang. Tetapi tak banyak yang bisa aku lakukan. Aku sering menjadi buruh tukang cuci baju yang hasilnya hanya bisa untuk makan. Ingin rasanya aku melakukan hal yang lebih dari ini. Tidak jarang juga aku mengirim hasil tulisanku ke media massa berharap tulisanku dimuat di sana. Honornya lumayan, jika dimuat di suatu koran atau majalah. Namun aku belum puas dengan hal itu. Aku tidak mungkin selamanya menggantungkan nasib dari hasil muatan tulisanku di media massa.
Pukul 21.00...
Ayah belum juga pulang. Aku mulai khawatir dengannya jikalau dia minum-minum lagi dengan teman yang baru dia kenal beberapa hari seperti  satu minggu kemarin. Meski aku merasa khawatir, tetapi aku sama sekali tak ada keinginan untuk mencarinya. Biarlah! Mungkin itu cara ayah untuk melampiaskan amarahnya. Karena selama ini meski ayah berwatak keras, tetapi ayah tidak pernah memarahiku dengan nada yang keras atau bahkan mengata-ngataiku dengan kasar. Meski aku tahu bahwa di dalam hatinya, ia menangis memikirkanku. Aku tau dia amat sayang terhadapku. Ah, kenapa tiba-tiba saja air mataku keluar. Ingin rasanya aku dipeluk oleh seorang ibu disaat keadaan seperti ini. Sudahlah, mungkin besok pagi ayah sudah ada di rumah seperti biasanya.
Hari minggu, pukul 08.00...
Aku benar-benar panik, perasaanku campur aduk. Karena sampai sekarang ayah belum pulang juga. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Mencarinyapun juga percuma, karena aku tidak tahu dia ada dimana. Toktoktok. Terdengar ada yang mengetuk pintu. Siapa? Apa mungkin itu ayah? Pikiranku sedikit tenang. Namun apa ini? bukanlah ayah yang aku harapkan, tetapi malah datang dua orang polisi yang berdiri dengan tegas dihadapanku. Terlintas seribu pertanyaan dalam pikiranku. Apakah terjadi sesuatu terhadap ayahku?
“Maaf, apakah benar ini rumah dari bapak Raharjo?” tanya salah seorang polisi dengan nada pelan namun tegas.
“Iya benar. Saya anaknya. Silahkan masuk dulu pak!” kataku sambil mempersilakan mereka masuk. “Ada apa ya Pak?”
“Kami dari kepolisian hanya ingin menyampaikan bahwa Bapak Raharjo telah kami tahan di kantor porles Sriwijaya karena kasus pencurian dan perampokan di salah tau rumah milik warga Ciluedug.  Ayah anda dikenai denda sebesar 50 juta, dan jika tidak maka terpaksa beliau harus ditahan selama 5 tahun penjara. Sidang pengadilan akan dilaksanakan hari jumat pada pukul 08.00.” jelas polisi
“ Apa?Penjara? 50 juta? Memangnya apa yang telah dikakukan ayah saya?” jawabku shock
“Kami berharap anda tabah dalam menghadapi cobaan ini. Baiklah, kami masih ada urusan yang lain jadi kamu harus segera pamit. Permisi.” Jawab seorang polisi yang satunya lagi sambil menepuk pundakku dan tersenyum. Aku tidak dapat berkata apa-apa sambil menyaksikan kedua polisi itu pergi. Apa yang harus aku lakukan? Ya Allah apakah ini cobaan untukku? Aku tidak mungkin mendapat uang sebanyak itu dalam waktu yang singkat.
Hingga tibalah saatnya hari persidangan itu. Aku tak dapat melakukan apapun. Aku seperti patung. Aku hanya bisa pasrah. Hatiku sakit dan perih, karena aku tak mampu membantu membebaskan ayahku. Aku hanya berdoa, berdoa, dan berdoa semoga Allah memberi jalan yang terbaik untuk kami berdua. Akhirnya persidangan itupun selesai setelah hakim memutuskan untuk memenjarakan ayahku.
“ Yang tabah ya Olif. Aku yakin Allah punya rencana bagi kamu dan juga ayahmu. Aku yakin Allah tidak akan membiarkanmu seperti ini. Bertawakallah!” hibur Rasyid yang sudah menemaniku sejak dipersidangan tadi.
“Makasih ya Rasyid. Kamu satu-satunya sahabat yang aku punya. Aku bersyukur masih ada orang yang peduli denganku.” Jawabku menghibur diriku sendiri
Satu bulan kemudian...
Toktoktok. Sepertinya ada tamu yang datang. Siapa? Apa mungkin itu Rasyid? Atau orang yang meminta dicucikan bajunya? Segera aku membuka pintu rumah.
“Permisi, apa benar ini rumah yang bernama Olif Irma Nurani?”
“Iya saya sendiri, silakan masuk!”
“Saya Andre. Saya seorang  jurnalis. Saya sering membaca hasil tulisanmu baik di media massa maupun di blog kamu. Menurutku sebagian besar tulisanmu menarik. Saya ingin menawarkan sebuah pekerjaan yang bisa dibilang tidak jauh dari keahlianmu. Bagaimana kalau anda bekerja di perusahaan kami sebagai seorang jurnalis juga seperti saya?”
“Benarkah? Alhamdulillah. Tentu saya tertarik untuk bekerja di perusahaan anda. Tetapi saya masih sekolah. Saya takut kalau sekolah saya menjadi terbengkalai. Apalagi saya sekarang sudah kelas 3 SMA.”
“ Hal itu tidak perlu dipikirkan. Karena nanti bisa diatur sesuai keinginan anda. Dan saya yakin anda tidak akan kecewa dengan kami. Gajinya pun juga lumayan. Bisa untuk kebutuhan anda sehari-hari. Bagaimana?”
“Baiklah akan saya pikirkan lagi.”
“Ini kartu nama saya, dan ini alamat perusahaan kami. Jika ada hal yang ingin ditanyakan, anda bisa menghubungi saya.”
“Baiklah. Terima kasih atas tawaran Bapak.”
Sejak  saat itulah hidupku berubah. Sekarang aku menjadi lebih baik. Aku bekerja dua kali dalam seminggu dalam sebuah perusahaan majalah pendidikan yang terkenal. Aku juga sering menjenguk ayah bersama Rasyid jika aku merasa rindu kepada ayah. Setiap menjenguknya, aku selalu mengingatkannya untuk sholat dan banyak membaca Al-Qur’an. Ayah sekarang sudah terlihat tenang dan wajahnya bersinar.
“Syukurlah kalau kamu sekarang bisa mandiri. Maafkan ayah karena tidak bisa menjadi seorang ayah yang baik untukmu.”
“Ayah adalah seorang ayah yang sangat aku banggakan. Maukah, ayah tetap berada sisiku sampai waktu yang memisahkan kita, saat ayah pulang nanti?”
“Tentu nak. Ayah tidak akan mengecewakan kamu lagi. Ayah janji.” Jawab ayah sambil memelukku dengan penuh kasih sayang.
Aku memang bukanlah siapa-siapa
Aku hanya setetes embun setelah hujan
Namun dengan embun itulah,
Semua makhluk hidup menaruh harapan,
Kehidupan yang lebih baik esok.

Komentar