Analisis Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Novel " Syair Munajat Cinta" karya Novia Syahidah



1

   SINOPSIS
          Dewi Sakrendha adalah anak unting-unting ayahnya, Ki Ireng. Demi cinta itu, Ki Ireng rela melakukan apa saja, termasuk perjanjian keramat dengan makhluk halus yang menjadi guru ilmu hitamnya. Ibunya, Ratmi yang berasal dari keturunan keluarga priyayi harus menghadapi kenyataan kalau dirinya dibuang karena menikah dengan seorang dukun dari keluarga yang melarat. Dewi yang masa kecil dan remajanya begitu erat dengan tradisi kejawen,kini setelah lulus SMA dan menginjak dewasa mulai menentang semua ajaran sesat dan berjuang keras meluruskan akidah Islam. Setelah lulus SMA, dia memutuskan untuk menjadi Catek (Calon Tenaga Kerja) di sebuah Yayasan di Yogyakarta. Saat mendapatkan pekerjaan sebagai pengasuh anak di keluarga bangsawan, perlahan tapi pasti, Dewi menemukan keluarga besarnya. Hal itu terbukti bahwa bapak majikannya, Pak Haryo adalah pakliknya sendiri. Dengan bantuan Pak Haryo, Dewi akhirnya berhasil bertemu dengan kedua Eyangnya dari keluarga ibunya. Kabar baik bagi Dewi bahwa ternyata keluarga besar Ibunya bias menerima kehadiran Dewi. Namun pertemuan itu harus diakhiri dengan perasaan yang sakit dan kecewa, mengetahui bahwa keluarga besar Ibu, terutama Eyangnya belum bisa menerima ayahnya terkecuali Pak Haryo yang memang orangnya sabar. Dewi memutuskan untuk pulang ke kampungnya, namun kejadian aneh mulai sering dialaminya dan perlahan rahasia besar mulai terungkap satu per satu. Bahwa perjanjian ayahnya dengan Kanjeng Gurunya itu harus mengorbankan jiwa anaknya sendiri untuk menjadi seorang dukun sakti. Dewi tidak menyerah. Dia berusaha untuk memutuskan pertalian ayahnya dengan Gurunya itu yang sudah melekat dalam aliran darahnya. Usahanya tidaklah sia-sia, harapan untuk menyelamatkan sepotong cinta miliknya masih ada. Hingga pada akhirnya, ….putuslah.  Di hari Jumat, Ki Ireng mengucapkan kalimat syahadat untuk kedua kalinya yang disaksikan seluruh warga, termasuk bulik dan pakliknya, Bu Wulan dan Pak Haryo.Perjuangan Dewi tidak hanya sampai disitu, dia masih memiliki tugas untuk meluruskan Bapak dan Ibunya. Masih ada Eyang yang perlu disadarkan. Dan masih ada ribuan masyarakat yang perlu dibenahi.

2.    KONFLIK
*   Konflik Batin
1)    Dewi yang teramat sangat sayang kepada Bapaknya merasa telah menyakiti hati ayahnya.
Bukti:
          Ikatan rasa yang sangat kuat antara aku dan Bapak itulah yang membuat pikiran dan hatiku kini dipenuhi kecamuk hebat. Bagaimana tidak, kata-kata bijak Ibu terngiang terus di telingaku. “Orang yang paling besar kekuatannya untuk menyakiti kita adalah, orang yang paling kita cintai.”
2)    Bapaknya yang dihina oleh keluarga besar Ibunya didepan Dewi.
Bukti:
           Aku terpaku di tempat dudukku. Rasa sedih perlahan menyusupi perasaanku mendengar Bapak dihina seperti itu. Seburuk apapun,ia tetaplah bapakku!. Dalam sekejap, kebahagiaan yang tadi memenuhi hatiku, kini lenyap tak berbekas. Yang tertinggal hanyalah kepedihan. Ternyata kebahagiaan yang kudapat dengan cepat ini, berakhir tak kalah cepatnya pula.

*   Konflik Sosial
a.     Dewi yang difitnah oleh warga.
          Aku yang menyaksikan keramaian itu dari dalam rumah mulai merasa cemas. Sungguh, aku tidak ingin semua ini terjadi. Aku tidak ingin kerudung dan kehormatanku dibela dengan cara seperti itu. Sampai  harus mengorbankan nyawa orang lain. Entahlah, walaupun fitnah yang menyebar itu memang kejam dan sangat menyakitkan, tapi hatiku tetap menolak cara ini. Tepatnya, aku tidak ingin Bapak melakukan dosa besar untuk membelaku.

*   Konflik Fisik
a.     Konflik fisik antara Ki Ireng dengan seorang wanita.
     “ Tolong leren, Ki! Aku mohon!” pintanya setengah meraung. Kedua tangannya memegang sebelah kaki Bapak.
     Tapi… BRUK!
     Tubuh wanita itu terpental oleh tendangan Bapak. Ya Tuhan, aku spontan memeluk Ibu yang juga balas memelukku.






3.    Perwatakan

*   Dewi Sakrendha
ΓΌ Pemberani:
§  Sungguh, aku sendiri tidak mengerti, kenapa aku tak pernah takut pada tempat-tempat keramat.
§   “Ora opo-opo, Mbah. Anak saya itu sudah biasa dengan hal-hal yang menyeramkan,” kata Bapak waktu itu.
ΓΌ Pemalu:
§  Aku risih dan malu diolok teman-temanku.
§  Kalau mereka sampai tahu, aku bisa menangis karena malu.
§  Aku? Datang ke tengah kerumunan massa yang begitu ramai? Duh, isin, Pak!
§  Semua mata tertuju padaku. Ya Rabbi, malu sekali rasanya.
ΓΌ Keras kepala:
§  Tapi aku menolak. “Bapak melarangnya, Ki. Jadi lebih baik tidak usah!” kataku tanpa mengurangi penghargaan atas perhatiannya.
§  Tapi aku ingin menjaga sendiri bapakku sampai sembuh. Dan itu sudah jadi tekadku.
ΓΌ Tidak percaya diri:
§  Dan sejujurnya, di lubuk hatiku yang paling dalam, juga terbesit kekhawatiran dan keraguan akan kemampuanku sendiri.
§  Dan kalau boleh jujur, aku pun mulai mersa sangat gugup dan ragu. Sebab ini adalah pengalaman pertamaku melakukan ruqyah.
ΓΌ Santun dan lembut:
§  “Bahkan tindak tandukmu sangat persis dengannya. Kamu sangat santun seperti ibumu. Sangat lembut dan ayu.”
ΓΌ Tidak putus asa:
§  Tidak ringan memang, tapi bukan berarti tidak mungkin! Dan yang pasti…,aku belum menyerah!

*   Ki Ireng / Sukirman
ΓΌ Kasar dan Pemarah:
§  Padahal dengan centeng-centengnya, atau dengan siapa saja, Bapak seringkali melontarkan kata-kata kasar dan emosional.
§  “Siapa yang menyebarkan fitnah itu, silakan berhadapan dengan menyan dan gobet ini!!” ancam Bapak sambil mengacungkan goloknya penuh emosi.
§  “Setelah dupa ini berasap, tidak akan ada pengampunan lagi!!” Bapak berseru lantang di tengah kerumunan orang banyak
§  “Bangsat! Ora kapok-kapoke kowe ke?! Teluh macam apa lagi yang bias membuatmu kapok, ha?” Bapak menggerun marah.
ΓΌ Berpikiran maju:
§  Namun semangatnya untuk memajukan aku seperti gadis-gadis di kota, membuatnya terus berusaha menyekolahkan aku setinggi mungkin.
§  Dan memang begitulah Bapak. Seorang laki-laki penganutilmu hitam, tapi berpikiran cukup maju.
ΓΌ Luluh:
§  Tapi di hadapanku, Bapak selalu luluh. Ya, Bapak memang teramat menyayangi aku, dan itu sangat kusadari.
§  Begitulah Bapak, di samping sifatnya yang kasar dan pemarah, ia juga mudah lumer jika dibaik-baiki. Dan satu-satunya yang paling pandai membujuk hatinya adalah aku.

ΓΌ Penyayang dan Lembut:
§  “Bapak tresno karo kowe, Nduk.” Suara Bapak terdengar serak.
§  Bapak selalu mati-matian untuk membahagiakanku, dan aku pun selalu habis-habisan dalam menyayanginya.
§  Kowe tahu, aku memberi makan anak istriku dengan hasil sawah itu. Dengan hasil ladang yang kami miliki. Bukan dengan perdukunan ini. Sebab mereka adalah orang-orang tak berdosa yang harus kujaga. Jadi jika kowe merusak sawah ladangku, berarti kowe membunuh anak istriku.” Tandas Bapak dengan suara berat.
§  Tapi seperti yang pernah kukatakan, di balik kekasarannya, Bapak memiliki rasa yang halus di kedalaman hatinya.
§  “Bapak membayangkan, bahwa suatu saat nanti kamu akan jadi abdi Kanjeng Guru. Dan Bapak tidak rela, Nduk. Kamu terlalu baik untuk itu,” mata Bapak kian berlinang.
ΓΌ Gigih :
§  Aku masih ingat bagaimana gigihnya Bapak membelaku ketika pertama kali pulang ke kampung dengan kerudung yang membalut kepalaku.
ΓΌ Sombong :
§  “Sambil tidur pun aku bisa mengawasi sawah atau lading itu,” katanya santai.
§  “Kalau cuma ke Jogja, toh aku isih iso ndelok,” sela Bapak cepat.”
§  Walaupun kowe melakukan kecurangan itu ketika aku tidur, aku pasti akan tahu juga. Jadi jangan mencoba main-main di belakangku,” kata Bapak tegas.
*   Ratmi
ΓΌ Lembut :
§  Wanita Jogja yang lembut dan berasal dari keluarga priyayi.
§  Seorang penyanyi tunggal dalam kelompok pertunjukan wayang dan gamelan terkenal dari Jogja, yang memang berparas ayu dengan tutur katanya yang halus.
§  Sebab dia adalah seorang wanita yang sangat lembut dan penuh pengertian.
ΓΌ Bersahaja :
§  Cara dan tutur kata Ibu terkesan bersahaja dan aku harus membiasakan diri dengan semua itu sejak aku kecil.
*   Eyang Putri:
ΓΌ Keras:
§  Agak berbeda dengan ibuku yang berwatak keras.
*   Eyang Kakung
ΓΌ Mengagungkan trah:
§  “Laki-laki ndak tahu diri. Mimpi jadi priyayi, lalu nekat menikahi putri orang terpandang. Kalau memang rendah, sampai kapan pun akan tetap rendah. Buktinya, sampai sekarang tidak ada yang bisa dilakukannya selain membakar menyan dan menghafal jampi-jampi,” cela Eyang Kakung pedas.
*   Pak Haryo
ΓΌ Baik:
§  “Ah, Ibu! Jangan terlalu berlebihan dalam mencela orang.” Pak Haryo menengahi.
*   Bu Wulan
ΓΌ Keras kepala:
§  Ibu kan tahu sendiri watak Wulan. Dia sangat keras kepala dan hanya memikirkan dirinya sendiri,” sela Pak Haryo.
ΓΌ Ketus dan kasar:
§  “Kenapa?” tanyanya dengan nada ketus.
§  “Kamarmu di ujung sana!” jelasnya mengejutkanku.
§  “Sekarang kamu boleh istirahat dulu, besok baru kerja!” katanya lagi. Tetap ketus.


4.    Setting

*   Tempat
*   Pundhen
©    Bagaimana aku tidak hafal, sejak kecil Bapak selalu membawaku ke pundhen, tempat pemujaan roh nenek moyang yang dibangunnya tidak jauh dari rumah kami.
©    Kemudian sesudah menutupnya dengan doa seperti di pundhen tadi, maka ritual terakhir yang akan dilakukan adalah melarungkan sesajen ketiga di Pantai Selatan yang berjarak beberapa kilometer dari kampungku.
*   Astana Imogiri
©    Saat kami pergi menyemai ubo rampe ke singgasana abadi raja-raja Jawa atau yang dikenal sebagai Astana Imogiri. Letaknya 17 km dari Keraton Jogjakarta, dalam wilayah Bantul.
*   Kelas
©    Di kelasku ada dua siswa yang memakai kerudung, dan mereka berdua adalah yang paling berambisi mengikuti diskusi tersebut.
*   Di rumah Bu Zainab
©    Aku pun mengusulkan untuk mangadakan diskusi lanjutan di rumah Bu Zainab, agar bisa lebih serius, terutama bagi yang ingin mendalami lagi kajian-kajian keislaman itu.
©    Akhirnya, bersama beberapa orang teman wanita, aku mulai mengikuti kajian dan diskusi keislaman setiap Ahad pagi dan Kamis sore di rumah Bu Zainab, yang tidak jauh dari sekolah.
*   Rumah Bulek Imas
©    Setelah aku diterima di sebuah SMA Negeri, bapak langsung mengantar aku ke rumah Bulek Imas, adik misan Bapak yang tinggal di pinggir kota Wonogiri.
*   Di rumah
©    Di rumah ini pun, Ibu selalu menerapkan aturan-aturan yang agak berbeda dengan keluarga lain di kampung ini.
*   Jogja
©    Akhirnya aku dan Bapak sampai di Jogja.
©    Bagaimana tidak, di kota seramai Jogja ini beliau tetap saja memakai penadon ireng, lengkap dengan udeng tali sirah yang berwarna merah itu.
*   Ranupane
©    Akhirnya kami sampai juga di Desa Ranupane.
*   Masjid
©    Sholat Jumat sudah usai, tapi masjid masih ramai.

*   Waktu
*   Aku ingat, dulu waktu kelas tiga SMP, aku pernah diajak Bapak ke sana, tepatnya ke Gunung Kawi.
*   Tapi waktu itu aku sangat ingin melihat keramaianupacara di sana yang konon melebihi keramaian acara Bodo Sawalan dan Bodo Ketupat.
*   Hampir satu bulan aku berada di rumah ini, sejak pulang dari Wonogiri.
*   Seminggu sekali Bapak pasti datang menengokku, kadang-kadang juga mengajak Ibu. Dan dua bulan sekali aku dibawa pulang, menjenguk kampungku di lereng Pengunungan Kidul sana.
*   Maka selama enam tahun aku selalu dikawal benda itu.
*   Setiap hari sabtu, setelah jam pelajaran berakhir, beliau mengadakan diskusi santai dengan para siswa di kelas.
*   Ini malam Jumat Kliwon.
*   Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, berarti upacara mistik Bapak sudah akan dimulai.
*   Sudah hamper setengah sebelas.
*   Malam kian senyap, mengantarkanku pada kegelisahan yang mengoyak perasaan.
*   Hari ini aku merasa sangat malas.
*   Dan samapi sekarang, hanya ilmu hitam itulah satu-satunya yang diurusi Bapak.
*   Malam sudah mulai larut.
*   Tak teras, seminggu sudah aku berada di Yayasan ini.
*   Waktu itu, aku memang suka main sendirian di sekitar rumah, padahal sudah masuk waktu Magrib.

*   Suasana
*   Menegangkan
Siapa yang menyebarkan fitnah itu, silahkan berhadapan dengan menyan dan gobet ini!!” ancam Bapak sambil mengacungkan goloknya penuh emosi. Ancaman itu begitu cepat menyebar, menimbulkan rasa ngeri di hati penduduk.
*   Mengharukan
“Bapak sudah menyusahkan kamu,Nduk…” Lirih suara Bapak. Matanya Nampak berkaca-kaca. “Maafkan Bapak, ya, Nduk? Bapak telah membuatmu menderita…,” ujarnya lagi membuat buliran air bening di pipiku kian membanjir.

5.    Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan dalam novel ini adalah orang pertama pelaku utama.

*   Namaku, DEWI SAKRENDHA. Artinya:  Anak perempuan yang lahir terbungkus selaput.
*   Aku memandangi Ibu diam-diam.

6.    Standar Budaya
Standar budaya Jawa Tengah.

*   Ya Gusti…, kulo matur sembah nuwun sanget ya Gusti Allah, saking sedoyo nikmat engkang Panjenengan paringaken dumateng kulo sekeluargo.
*   “Cah Ayu, opo wis kok pikirke mateng-mateng keinginanmu kuwi?” Tanya Ibu berusaha mengurai tekadku.

Komentar

ada gak biografi pengarang novel ini?
KUKATAKAU mengatakan…
belum di posting mbak. Tunggu postingan selanjutnya ya :-)